Jet Lag

Setelah lima tahun lamanya, kaki ini kembali menginjak jalanan beton yang tertutupi sepihan putih di Kota Eindhoven. Sepanjang mata meraba, ranting pohon tak berdaun dan atap rumah runcing terkuas warna serupa. Salju memang tak turun lagi pagi ini, namun hembusan angin yang kencang dan dingin masih kurasa meskipun sudah kukenakan long john, sweater, dan jaket bulu angsa.

Gigi masih beradu memainkan nada dengan tempo allegretto. Kucoba menangkupkan bibir atas dengan bibir bawah yang mulai kering dan mengelupas agar temponya turun menjadi adagio. Tapi percuma. Yang kurasa sama.

Di pojokan speeltuin, aku berdiri. Menunggu kabar kawan lama yang berniat menjemput, tetapi tak jua menyambut. Gelisah, aku pun mencoba duduk di ayunan dengan terlebih dahulu menyapu tumpukan salju. Gara-gara jadwal penerbangan yang tertunda, aku menjadi terlunta-lunta. Mulutku otomatis manyun, sementara pikiranku melamun.

Lima menit kemudian, terasa vibrasi telepon  genggam membuyarkan lamunan. Kucoba menjawab, tapi tak bisa. Lalu sumpah serapah keluar dari mulutku menyadari bahwa sarung tangan yang kupakai tidak bisa touch screen, sehingga harus kulepas terlebih dahulu untuk bisa menggeser fitur jawaban.

 “Ik ben in het park,” kataku menyampaikan lokasi  sambil menggigil dengan tangan yang langsung disergap kedinginan. “haast je! Ik sterf in kou,” aku memohon padanya agar segera datang.

Ik daar onmiddellijk,” jawab temanku dengan nada pasti. Semoga saja dia segera ke sini menjemputku, harapku sambil bersegera memakai kembali sarung tangan.

Perjalanan selama kurang lebih empat belas jam dari Jakarta serta perbedaan waktu yang hampir tujuh jam membuatku merasa jet lag. Tubuh belum terbiasa dengan keadaan sekitar. Sistem metabolisme dan jadwal tidur menjadi sangat kacau di awal-awal. Adapun dari semuanya, yang paling merepotkan adalah rasa pusing dan mual yang tak bisa dihindarkan, sama seperti yang kurasakan saat ini. 

Kucoba menahan golakan dari dasar lambung yang ingin memuntahkan makanan dan minuman yang kunikmati saat di pesawat. Bisa ditebak, aku tak bisa menahannya. Hasilnya adalah cacahan daging , lendiran puding, dan cairan kuning labu keluar dari mulutku dan tumpah ruah di tanah, menyisakan rasa pahit di kerongkongan.

Lima tahun yang lalu, aku perlu waktu dua minggu agar bisa menyesuaikan diri. Entah dengan saat ini, karena aku datang pada saat musim dingin berada di puncaknya. Jet lag kali ini benar-benar sangat terasa menyiksa dan berbeda.

“John, wakker!” teriak temanku yang datang di saat tubuh sudah ambruk. Aku melihatnya menggoyang-goyang tubuh yang telah membiru dan terlihat panik. Aku tak mampu meresponnya karena seperti yang kubilang, jet lag kali ini benar-benar menyiksa dan berbeda, karena lintasan waktu yang kutempuh bukanlah lintasan beda zona waktu di bumi, melainkan lintasan hidup dan mati.

.

Catatan:

Memenuhi Tugas Kelas Fiksi ODOP Materi 4:

“Membuat Cerita 10 Paragraf”

11 comments

  1. Keren!!

    Tapi….ada yang mengganjal di paragraf terakhir. Tokoh Aku melihat temannya menggoyang2kan tubuh yang sudah membiru. Arwahnya kah maksudnya?

    Like

Leave a comment